Mas Mardani pun akhirnya kembali ke tanah kelahirnnya ‘Pulau Jawa’ setelah merantau di pulau seberang sana. Hari lebaran adalah waktu yang tepat untuk Mas Mardani dan keluarganya mudik ke kampung halamannya walaupun hanya seminggu. Tak ingin melewatkan kesempatan saat di Jawa, beliau dan keluarganya ingin mengunjungi tempat wisata yang menjadi ciri khas Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah. Setelah meraka mengunjungi Keraton Kasunanan Solo dan memutari Pasar Klewer mereka ingin ke Candi Prambanan atau Borobudur. Namun sayang karena keterbatasan waktu akhirnya kami menyarankan untuk mengunjungi Candi Cetho dan Sukuh dan mereka pun menyetujuinya.
Hawa dingin lereng Lawu membangunkan kami yang sedang terbalut dengan selimut. Kami pun bergegas menyiapkan sesuatu sebelum sungkem kepada mbah kakung–putri dan kemudian berangkat ke Candi Sukuh dan Cetho. “Ini perjanjiannya kalau gak kuat, yang belakang harus turun ya? hhaha” celetuk mbak Wiwin saat kami sampai di Kemuning, yang kemudian diiringi dengan tawa kami.
Kemuning |
Dan benar saja, saat masuk ke jalan masuk Cetho saja istri Mas Mardani harus jalan kaki. “Istirahat dulu mbak, ini masih biasa hlo belum di Cetho-nya”, ucapku ke istrinya Mas Mardani. Dan kami kemudian melanjutka ke Cetho. "Turun pak..”, ucapku kepada Ayah. Ku lihat pula ternyata istri Mas Mardani juga turun karena motor kami tak kuat untuk menanjak. Hanya motor yang dikendarai Mbak Wiwin dan adikku (Lia) yang dapat naik dengan lancar. Kami istirahat sebentar dan kemudian masuk ke Cetho.
Saat di Sukuh.. |
Saat di Cetho |
“Ayo kita ke Candi Kethek dan Saraswati sekalian, mumpung disini”, ucap Mas Madarni. Dua kali ke Cetho, aku pun belum pernah mengunjungi dua tempat tersebut. Dari Candi Cetho ini sudah ada papan petunjuk menuju ke Candi Kethek dan Puri Saraswati. Untuk kedua tempat tersebut kita dikenakan tiket sebesar Rp 1.500 per orang. Untuk ke Candi Kethek jarak dari Cetho sekitar 300 meter ke sebelah timur laut. Kita akan melewati jalan setapak dimana pemandangan lereng gunung Lawu akan menemani kita. Saat kita menuju ke Candi Kethek ini dikiri jalan setapak terdapat jurang yang ternyata adalah aliran sungai yang saat itu kering. Sekalipun kering jalan setapaknya pun tetap becek. “Loh ini to Candi Kethek”, ucap Lia. Candi Kethek ini hanya berupa susunan batuan yang bentuknya hampir mirip piramida dan menghadap ke barat dengan berbentuk teras berundak (4 teras), masing-masing teras dihubungkan dengan tangga. Entah kenapa dinamakan Candi Kethek (monyet), mungkinkah ketika dahulu penemuan candi ini banyak monyet kali yak yang berkeliaran di candi ini. Namun pas kami kesini kami tak melihat adanya monyet sama sekali.
Candi Kethek |
Kemudian kamipun menuju ke Puri Saraswati. Bangunan Puri Saraswati terletak 100 meter dari candi Cetho dan merupakan bangunan pelataran terbuka yang luas
dan berlantai batu dengan Patung Dewi saraswati dan kolam di tengah
tengah pelataran. Menuju ke pelataran Puri Dewi Saraswati kita
diwajibkan untuk melepas sepatu dan sandal demi kesucian Puri mengingat
Puri tersebut juga digunakan untuk sembahyang umat Hindu. Rasa dingin di
telapak kaki akan terasa saat kaki menyentuh permukaan lantai batu.
Mungkin kedua tempat ini memang tidak
setenar Candi Sukuh dan Candi Cetho,
juga letaknya yang kurang strategis
dan promosinya yang tidak segencar candi-candi saudaranya tersebut. Namun anda tidak akan menyesal menyempatkan diri mengunjungi candi ini. Alam
yang sejuk dan indah, keheningan dan kejernihan hati dipadu kesakralan
nilai sejarah peninggalan para leluhur mampu menghipnotis kita untuk
ingin kembali berkunjung setiap kali ada kesempatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar