Setelah bertanya ke seorang warga,kami memutar balik kendaraan dan menuju pertigaan setapak yang dimaksud oleh bapak tadi. Petualangan pun dimulai dari sini. Jalan masih berupa bebatuan. Sesekali motor yang kami kendarai terkena batu. “Thaak”, suara yang agak menghawatirkan ku dalam perjalanan kali ini. Terlebih lagi ini sudah masuk ke kawasan Gn. Wilis. Tak ada orang sama sekali. Jika terjadi masalah pada motorku, apa yang terjadi? Pikiranku sudah kemana-mana. Sudah tidak tenang. Namun Bayu tetap saja mengendarai motor dengan keyakinannya.
“Ini Mol, alas (hutan) yang sebenarnya. Kalau sudah sampai disini apalagi pas pulang, jangan sampai bilang ‘kog jauh ya jalannya?’. Bicara dalam hatipun jangan. Sebenarnya sensasinya lebih terasa pas malam hari. Kamu bakalan tahu suasana yang sebenarnya”, dan untuk ketiga kalinya saya terdiam. Entah, saya takut atau kenapa saya sendiri juga tidak tahu. Saya hanya berusaha menikmati perjalanan ini.
Suasana hutan sangat terasa. Pepohonan lebat terlihat dari sini. Burung-burung terbang rendah kesana kemari. Ya, suasananya sama saat mendaki gunung, namun kali ini berbeda karena menggunakan motor.
Perjalanan ini masih berlanjut. Entah sampai kapan dan dimana, saya hanya menuruti Bayu saja. Setengah jam pertama. Setengah jam kedua. Kami masih saja melewati jalan bebatuan. Naik turun, hingga belokan tajam. Rasanya membuat badan sakit semua. Goncangan goncangan akibat jalan bebatuan. Sesekali kami mengecek ban motor kami, memeriksa apakah bocor atau tidak. Entah berapa lama kami berjalan, hingga terlihatlah sebuah tempat diatas bukit dari jauh. “Sabar Bay, seloww”, “Iya Mol, tapi aku gak tahu kenapa pengen sekali kesana.”
Tak berapa lama, kami pun sampai. Seran, kata itu yang saya dengar darinya. Sebuah tempat di perkebunan kopi. Tempat masa kecil Bayu. Rumah dari penduduk pun bisa dihitung dengan jari. Dengan suasana yang tenang dan damai. Bayu pun bercerita ketika dia masih berada di sini….
Surau.. |
“Aku masih ingat, disini ada Surau. Benerkan!”
Rumah Bayu.. |
“Ini Mol, rumahku dulu. Bagus kan? Ini arsitektur jaman Belanda. Dulu sangat bagus lihat saja dindingnya sekarang apa ada bebatuan seperti ini? Dulu banyak sekali di tanami pepohonan, buah-buahan. Tapi sekarang sudah dirubah. Tapi sayang dikunci sama penjaganya, kalau gak tak ajak masuk”.
Lapangan |
“Nah ini lapangan, kecil memang. Dulu aku disini belajar sepeda.”
“Dulu aku suka mengembala kambing disini, apalagi pas ada kebakaran di gunung. Kamu belum pernah melihatkan? Kejadian itu 19 tahun silam. Aku memang masih kecil tapi ingat sekali.”
“Aku pindah kekota itu pas TK. Jujur aku pas pertama kali disana malu. Seperti inikah kota? Berbeda sekali saat disini. Sepi.”
“Sekarang suasananya sudah berbeda, dulu kalau main sama teman teman. Kidang (Rusa) kadang lewat di depan kita. Kamu tau ayam hutan? Dulu mudah sekali ditemukan, kalau sudah bertemu ayamnya langsung terbang menjauh, tapi dagingnya a lot kalau dimakan. Pernah juga malah ketemu sama ular kobra. Burung-burung cantik pun masih banyak. Tapi sekarang sudah sulit. Gara-gara ulah manusia sendiri. Malah semuanya jadi rusak.”
Rumah lama Bayu memang sangat cantik dengan arsitektur lamanya, sekalipun keadaannya mulai terlihat tua, usang. Ketika kita akan masuk ke pekarangan rumahnya saja, pohon pinus sudah menyambut kita. Disamping nya pun juga terdapat pohon pinus lagi. Mendengar ceritanya saja, saya hanya bisa tersenyum. Rasanya damai dan tenang. Sebuah tempat yang jauh dari hingar bingar manusia. Aku hanya bisa membayangkan saja. Seolah berada disana kala itu. Mulai dari keadaan rumahnya hingga bertemu dengan hewan hewan yang sekarang saja ketika kita berada di alam bebas pun sudah jarang bertemu secara langsung. Sungguh beruntung dia, dari kecil sudah dikenalkan dengan alam.
*Terima kasih Bayu, perjalanan kali ini banyak sekali pelajarannya. Terkadang aku pun seolah tertampar dengan semua perkataanmu. Perkataan yang menururtku malah menjadi nasehat bagiku. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar