Pada akhirnya saya memilih Madiun, sebagai tujuan destinasi kali ini. Salah satu alasannya adalah untuk bertemu teman saya, Bayu. Teman yang baru saya kenal saat masa training di tempat kerja.
Semua perlengkapan dan informasi sudah siap, berada dalam genggaman. Dan tak terlupa adalah destinasi wisata yang harus saya kunjungi saat di Madiun. Berangkat dari Solo pukul 06.00 wib, saya putuskan untuk melewati Magetan. Hawa dingin mulai terasa ketika sampai di daerah Tawangmangu, Karanganyar. Jalan semakin menanjak, dinginnya daerah pegunungan semakin terasa kuat. Hingga jari tangan seperti mati rasa, dan seperti tertusuk jarum. Akhirnya saya berhenti sejenak untuk menghangatkan tubuh dengan hangatnya matahari. Perjalanan saya lanjutkan, dan tak terasa sampailah di Madiun. Dengan waktu tempuh 3 jam, melewati Gorang Gareng. Saya pun kemudian menghubungi Bayu, untuk menjemput di Universitas Merdeka Madiun.
~Madiun, 01 Agustus 2015.
Setelah beristirahat di rumahnya, saya pun mengajak dia untuk ke sebuah air di lereng Gn. Wilis. Namanya Air Terjun Seweru. Namun, Bayu tidak tahu menahu tentang air terjun ini dan dia putuskan untuk berkunjung ke tempat saudaranya di Kare. Selain untuk mencari informasi tapi juga menyambung tali persaudaraan.
Setelah beristirahat di rumahnya, saya pun mengajak dia untuk ke sebuah air di lereng Gn. Wilis. Namanya Air Terjun Seweru. Namun, Bayu tidak tahu menahu tentang air terjun ini dan dia putuskan untuk berkunjung ke tempat saudaranya di Kare. Selain untuk mencari informasi tapi juga menyambung tali persaudaraan.
Tibalah kami di rumah saudaranya Bayu, disambut dengan ramah. Dari obrolan sejenak dengan Pakdhenya Bayu, daerah Kare ternyata dulunya daerah penghasil Kopi dan Cengkeh. Namun sekarang sudah mulai berkurang produksinya. Beliau sendiri pun masih mengais rejeki dengan menjual cengkeh dan kopi hanya digunakan untuk pribadi. Terlihat dari sedikitnya kopi yang dijemur dipelataran rumahnya.
“Kalian kesana (Seweru), mau ngapain? Sekarang sepi, karena kemarin ada yang meninggal terbawa arus sungai. Dan dulu juga ada yang tertimpa pohon. Setiap tahun pasti ada yang meninggal.”
“Nggih, mau main pakdhe. Pengen lihat.”
“Tapi sudah sepi, kalau mau kesana itu ikuti jalan corblok. Sebelum patung belok ke kiri. Jalannya turun, nanti bisa tanya ke penduduk. Dan jalannya jauh, sebelum ke air terjun melewati hutan pinus dahulu. Ya hati-hati saja kalau mau kesana.”
“Permisi bu, Air Terjun Kedung Malem dimana ya bu?”, tanya kami ke penduduk sekitar.
“Itu mas, nanti njenengan lihat ada pohon asem dua terus turun kebawah. Tapi disana baru longsor mas.”
*melanjutkan perjalanan
“Kui bay, wit asem e. Cobo rono yuh, yen raisoh yowes.”
“Jangan sampai orang tua berbicara sampai tiga kali. Tidak baik. *dan saya terdiam*. Munggah rono wae, tak duduhi omahku mbiyen.”
Dari sini, jalan sudah berubah total. Hanya bebatuan saja. Sesekali terlihat warga yang membawa rumput sebagai pakan ternak mereka. Mengambil dari atas dengan sepeda motor mereka. Dengan cekatan Bayu mengendarai kuda besi ku. Jalan masih tetap bebatuan. Hingga akhirnya terlihatlah sebuah air terjun. Kami berhenti sejenak.
Bayu... |
Kami memutuskan untuk turun ke bawah menuju air terjun, hingga bertemulah kami dengan jembatan kayu. “Wes suwe mol aku ra neng kene, neng jembatan kayu iki, ayo miduk rono nek air terjun”, ucap Bayu dengan gembira. Kami menyusuri jalan setapak. Banyak rerumputan dengan warna beragam. Khayalanku serasa sedang berada di surga. Bagaimana tidak? Disini tenang. Dengan suara gemericik air sungai yang mengalir indah. Terdengarlah kicauan merdu seekor burung. Indah. Dengan warna bulu hitam dan putih dia terbang rendah dan kemudian menghilang.
“Kamu termasuk beruntung Mol, bisa melihat burung seperti itu disini. Sekarang sudah banyak perburuan liar. Ditembak, tapi tidak dikembang biakan terus dilepas di alam lagi”. Mendengarnya, sudah cukup miris. Apalagi Bayu sudah mengetahui suasana di sini dari dahulu.
Tak lama kami di sini. Bayu memutuskan melanjutkan perjalanan. “Kamu tahu Mol, warna burung tadi? Hitam dan Putih kan. Seperti ‘ulo weling’ (weling = dikasih tahu/diingatkan). Itu tanda-tanda alam, kalau dikota gak bakalan masuk.” Sebuah kalimat yang membuat saya terdiam untuk kedua kalinya. Dan tak sadar ternyata di depan kami jalan buntu. Kami bertanya ke salah seorang penduduk.
“Pak kalau mau ke Seran arahnya mana ya? Terus ini dimana?”
“Pertigaan tadi keatas. Kalau lewat jalan lurus itu juga bisa, ini namanya Kertoembo”
“Kalau air terjunnya itu namanya pak?”
“Yaa.. karena disini Kertoembo, jadi ya namanya Air Terjun Kertoembo.......”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar